Keberadaan
kawasan karst di Indonesia, dewasa ini dianggap memiliki nilainilai
yang sangat strategis. Di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, luas
kawasan karst mencapai hampir 20 % dari total luas wilayah. Nilai-nilai
strategis yan dimaksud, selain merupakan kawasan sebagai pemasok dan
tandon air untuk keperluan domestik (PBB memperkirakan persediaan air
sekitar 25 % penduduk dunia merupakan sumber air karst, Ko 1997), juga
mempunyai sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan menambah devisa negara
seperti pariwisata, penambangan bahan galian, penghasil sarang burung
walet, bahkan sangat terkaitpula dengan bidang HANKAM/militer, serta
intelijen.
Disamping beberapa nilai strategis diatas, oleh para ilmuwan/scientist,
kawasan karst dianggap sebagai laboratorium alam yang sarat akan
obyek-obyek yang dapat dikaji/diteliti. Banyak hasil penelitian skripsi,
thesis, maupun disertasi, telah dihasilkan oleh kawasan ini pada
berbagai macam disiplin ilmu. Setiap tahunselalu ada saja para
karstolog, baik asing maupun domestik yang berkunjung untuk melakukan
riset. Dari pernyataan ini dapat dilihat betapa besar sumbangan kawasan
karst dalam dunia ilmu pengetahuan. Oleh para penelusur goa, yang
jumlahnya semakin banyak, kawasan karst dengan goa-goa bawah tanah
yangdapat ditelusuri dianggap sebagai lahan petualangan mereka, untuk
menikmati fenomena bawah permukaan yang menakjubkan, tentu saja tanpa
meninggalkanazas-azas konservasi goa.
TERMINOLOGI
Istilah karst yang dikenal di Indonesia sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya adalah ‘krst / krast’ yang
merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan
Italia Utara, dekat kota Trieste. Moore and Sullivan (197 menyebutkan bahwa istilah karst diperoleh dari bahasa Slovenia, terdiri dari kar (batuan) dan hrast (oak),
dan digunakan pertama kali oleh pembuat peta- peta Austria mulai tahun
1774 sebagai suatu nama untuk daerah berbatuan gamping berhutan oak di
daerah yang bergoa di sebelah Barat laut Yugoslavia dan sebelah Timur
Laut Italia.
Beberapa
ilmuwan lain menyebutkan pula bahwa asal mula ditemukannya daerah yang
akhirnya dinamakan karst adalah karena akibat adanya perumputan (grassing) oleh
ternak-ternak pada suatu kawasan, sehingga tersingkaplah batuan dan
fenomena didalamnya yang ternyata sangat khas dan unik. Istilah karst
ini akhirnya dipakai untuk menyebut semua kawasan berbatuan gamping di
seluruh dunia yang mempunyai keunikan dan spesifikasi yang sama, karena
proses pelarutan (solusional), bahkan
berlaku pula untuk fenomena pelarutan pada batuan lain seperti gypsum,
serta batuan garam dan anhidratnya. Beberapa istilah dalam karst yang
juga diambil dari daerah ini diantaranya adalah bentukan Polje yang
merupakan nama suatu kota di Yugoslavia, Beberapa istilah bentukan karst
yang lain diantaranya adalah bukit dan tower karst, diaklas, pinacle, cockpit, uvala, doline, sinkhole, goa, lapies, speleothem, sungai bawah tanah, dll.
Beberapa
ahli menggunakan karst sebagai istilah untuk medan dengan batuan
gamping yang dicirikan oleh drainase permukaan yang langka, solum tanah
tipis dan hanya setempat-setempat, terdapatnya cekungan-sekungan
tertutup (dolin), dan terdapatnya sistem drainase bawah tanah
(Summerfield, 1991). Ford dan Wiliam (1996) mendefinisikan secara lebih
umum sebagai medan dengan karakteristik hidrologi dan bentuklahan yang
diakibatkan oleh kombinasi dari batuan mudah larut dan mempunyai
porositas sekunder yang berkembang baik. Karst sebenarnya tidak hanya
terjadi di batuan karbonat, namun sebagian besar karst berkembang di
batugamping. Ciri utama kawasan karst adalah terdapatnya
cekungan-cekungan tertutup yang disebut sebagai dolin. Apabila dolin
saling menyatu membentuk uvala. Di beberapa tempat, dolin dapat terisi
air membentuk danau dolin. Kenampakan permukaan daerah karst selain
doline dan uvala adalah polje, ponor, pinacle, menara karst, atau kubah
karst. Kombinasi dolin dan kubah menyebabkan panorama karst menjadi unik
dengan bukit-bukit yang terhampar luas.
Keunikan
lain dari kawasan karst adalah keberadaan goa dan sungai bawah tanah.
Goa-goa tersebut pada umumnya bertingkat dengan ukuran kurang dari satu
meter hingga ratusan meter persegi dengan bentuk vertikal miring maupun
horisontal. Goa-goa karst hampir semuanya dihiasi dengan ornamen (speleothem) yang sangat beragam dari mulai yang sangat kecil (helectite) hingga yang sangat besar (column) dengan bentuk dan warna yang bervariasi.
SEBARAN KARST DI INDONESIA
Sebagian
besar kawasan karst di Indonesia tersusun oleh batuan karbonat, dan
hampir tidak ada yang tersusun oleh batuan lain seperti gipsum,
batugaram, maupun batuan evaporit. Hampir di setiap pulau di Indonesia
memiliki batuan karbonat, tapi tidak semuanya terkartsifikasi menjadi
kawasan karst. Menurut Balazs (196 terdapat 17 lokasi yang dapat dikategorikan sebagai kawasan karst.
Karst
di indonesia seperti yang ditulis oleh Balazs tersebar di sebagian
besar pulau-pulau di Indonesia, namun demikian tidak semuanya berkembang
dengan baik. Balazs (196
selanjutnya mengidentifikasi terdapat tujuhbelas kawasan karst mayor di
Indonesia seperti ditunjukkan pada Lampiran 1. Diantara kawasan karst
tersebut, terdapat dua kawasan karst yang paling baik dan dianggap
sebagai prototipe dari karst daerah tropis, yaitu karst Maros dan Gunung
Sewu.
Karst Maros dicirikan dengan berkembangnya Menara Karst (Mogote),
yaitu bentukan positif dengan dinding-dinding terjal yang relatif
tinggi. Ketinggian dari muka laut berkisa antara 300 – 550 meter,
sedangkan relief bervariasi dari 100 – 250 meter. Batuan gamping di
karst Maros diendapkan pada Eosen. Luas karst Maros secara keseluruhan
mencapai 650 km2 dengan intikarst sekitar 300 km2.
Karst Gunung Sewu dicirikan dengan berkembangnya kubah karst (Kegle Karst),
yaitu bentukan positif yang tumpul, tidak terjal atau sering
diistilahkan kubah sinusoidal (Lehman, 1936). Ketinggian tempat berkisar
antara 300 – 500 meter dari muka laut dan relief bervariasi antara 50 –
150 meter. Batuan gamping di Karst Gunung Sewu berumur Miosen dan
mengalami karstifikasi mulai akhir pliosen hingga awal pleistosen. Karst
gunung sewu juga dicirikan dengan bentukan doline yang setiap musim
penghujan selalu terisi air yang kemudian disebut telaga, yang jumlahnya
ratusan. Luas karst Gunung Sewu mencapai 3300 km2 yang meliputi Propinsi DIY, Jawa Tengah, dan Propinsi Jawa Timur.
SUMBERDAYA ALAM KARST
Sumberdaya mineral
Salah
satu sumberdaya mineral yang terbesar di kawasan karst Indonesia adalah
batuan kerbonat. Batuan karbonat merupakan sumberdaya mineral yang
penting baik sebagai bahan bangunan, batu hias, dan industri. Sebagai
bahan bangunan batuan karbonat digunakan untuk fondasi rumah, jalan,
jembatan, dan isian bendungan. Pemanfaatan terbesar batugamping di
Indonesia adalah sebagai bahan baku semen. Penambangan batu gamping di
Indonesia telah dilakukan besar-besaran di Cibinang, Gresik, Tuban,
Nusakambangan, Gombong, Padang, dan Tonasa. Untuk memproduksi satu ton
semen diperlukan paling sedikit satu ton batugamping di samping lempung
dan kuarsa.
Batuan
karbonat juga digunakan sebagai bahan baku industri dalam pembuatan
karbid, peleburan baja, bahan pemutih, soda abu, penggosok, pembuatan
logam magnesium, pembuatan alumina, plotasi, pembasmi hama, penjernih
air, bahan pupuk, dan keramik. Manfaat batuan karbonat terutama marmer
yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai batu hias, yaitu sebagai
lantai, dinding, atau cindera mata.
Sumberdaya lahan
Sumberdaya
lahan di kawasan karst tidak begitu besar, namun demikian nilai
manfaatnya sangat berarti bagi penduduk yang tinggal di tempat tersebut
sebagai penghasil bahan pangan sehari-hari. Lahan yang berpotensi cukup
tinggi di kawasan karst adalah di lembah-lembah atau dolin pada daerah
karst. Potensi lahan semakin lebih baik apabila proses-proses fluvial
mulai bekerja disamping proses solusional. Tanah yang berkembang di
lembah-lembah atau dolin pada umumnya terarosa dengan tektur lempungan,
kedalaman sedang, warna kemerahmerahan.
Lahan
di kawasan karst, terutama di daerah lembah dapat ditanami tanaman
semusim lahan kering atau sawah tadah hujan. Disamping itu, lahan di
daerah tersebut sangat sesuai untuk tanaman jati. Beberapa komoditas
pertanian lain saat ini banyak diusahakan oleh masyarakat walaupun tidak
sebaik di dataran aluvial, seperti jambu mete dan tanaman buah.
Sumberdaya air
Sifat
akifer karst yang unik dan sukar untuk diprediksi, akifer yang berupa
lorong konduit, permeabilitas batuan yang tidak seragam, serta banyaknya
retakan yang menyebabkan terjadinya kebocoran-kebocoran dalam satuan
tubuh perairan karst merupakan suatu hal yang menantang untuk diteliti
serta dikaji lebih dalam. Akifer yang unik menyebabkan sumberdaya air di
kawasan karst terdapat sebagai sungai bawah tanah, mataair, danau
dolin/telaga, dan muara sungai bawah tanah (resurgence). Kawasan
karst disinyalir merupakan akifer yang berfungsi sebagai tandon
terbesar keempat setalah dataran aluvial, volkan, dan pantai. Walaupun
saat ini dirasa masih terlalu mahal untuk memanfaatkan sungai bawah
tanah, dimasa mendatang akifer karst merupakan sumber air yang dapat
diharapkan. Kawasan karst Kabupaten Gunung Kidul misalnya memiliki danau
dolin mencapai ratusan buah, sedangkan jumlah mataair dan sungai bawah
tanah mencapai 178 buah.
Sumberdaya
air di kawasan karst pada umumnya belum dimanfaatkan, baik sebagai
sumber air baku maupun sebagai budidaya perairan. Danau dolin di
Kabupaten Gunung Kidul misalnya belum dimanfaatkan untuk aqua kultur.
Demikian halnya dengan mata air, pada umumnya mataair terutama di daerah
karst belum dimanfaatkan dengan optimal. Mata air epikarst dikenal
menurut studinya Linhua (1996) mempunyai kelebihan dalam hal:
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Kualitas
air. Air yang keluar dari mataair epikarst sangat jernih karena sedimen
yang ada sudah terperangkap dalam material isian atau rekahan.
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Debit
yang stabil. Mataair yang keluar dari mintakat epikarst dapat mengalir
setelah 2-3 bulan setelah musim hujan dengan debit relatif stabil.
<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Mudah
untuk dikelola. Mataair epikarst umumnya muncul di kaki-kaki
perbukitan, sehingga dapat langsung ditampung tanpa harus memompa.
Sumberdaya hayati
Sumberdaya
hayati di kawasan karst tidaklah melimpah, hal ini disebabkan tipisnya
tanah dan langkanya air tanah di kawasan tersebut. Kawasan karst dikenal
dengan daya tahannya (resilience) yang rendah terhadap perubahan atau
gangguan (Gillieson, 1997). Namun demikian kawasan karst yang belum
terjamah oleh aktivitas manusia pada umumnya berhutan lebat dengan
segenap satwa penghuninya, seperti Karst di Irian Jaya yang mencapai
ketinggian di atas 4.000 meter dari muka laut. Gunung Kidul yang saat
ini gersang dilaporkan oleh Junghuhn (1845) dulunya merupakan hutan yang
lebat. Sekalipun telah gundul di kawasan karst Gunung Kidul dijumpai
jenis satwa dan fauna yang sangat beragam. Satwa kawasan karst Gunung
Sewu yang khas dijumpai diantaranya adalah walet, kelelawar, dan ular
kobra.
Sumberdaya
hayati kawasan karst terutama yang telah berkembang menjadi karst yang
menonjol adalah kehidupan hayati di ekosistem goa. Walaupun tidak
melimpah, kehidupan gua memiliki arti penting terutama dalam ilmu
pengetahuan. Ekosistem goa telah menjadi obyek kajian yang menarik bagi
ahli ilmu biologi untuk mempelajari pola adaptasi fauna dari lingkungan
terang ke lingkungan gelap abadi. Disamping itu, goa merupakan habitat
burung Walet dengan sarangnya yang sangat mahal nilai jualnya.
Sumberdaya lansekap
Lanksekap
di kawasan karst mempunyai nilai keindahan dan keunikan yang tinggi,
baik di permukaan (eksokarst ) maupun bawah permukaan (endokarst). Di
permukaan, kawasan karst dihiasi oleh ribuan kubah-kubah karst atau
menara karst dengan sesekali ditemukan ngarai yang terjal, dolin, dan
danau dolin. Keindahan panorama karst juga dapat dijumpai apabila karst berbatasan dengan laut dengan membentuk tebing-tebing terjal (clift).
Keindahan
di bawah permukaan kawasan karst didapatkan pada goa-goa beserta
ornamennya. Goa-goa tersebut dapat berupa goa vertikal (shaft), cimne,
maupun goa horinsontal. Sedangkan ornamen (speleothem) yang dimiliki goa
sangat bervariasi baik bentuk, warna, dan ukurannya. Keunikan lain dari
goa adalah terdapatnya ruangan bawah tanah (chamber)
dan sungai di beberapa goa dengan bendungan alamnya. Luas ruangan bawah
tanah bisa mencapai satuan hektar, walaupun dipermukaan hanya
berdiameter satu atau dua meter.
PERMASALAHAN
Kawasan
karst dikenal sebagai suatu lingkungan yang memiliki daya dukung sangat
rendah, dan tidak dapat diperbaiki jika telah mengalami kerusakan.
Karena sifatnya, daerah karst dapat disebut merupakan daerah yang sangat
rentan, atau peka terhadap pencemaran. Hal ini disebabkan banyaknya
rekahan (joint) pada batuan gamping penyusun topografi karst sehingga
pori-pori yang besar, permeabilitas sekunder yang tinggi, derajat
pelarutan batuan yang tinggi, menyebabkan terjadinya lorong-lorong
conduit yang merupakan sungai bawah tanah, sehingga masukan sekecil
apapun akan diterima dan terperkolasi melaui pori-pori dan memasuki
lorong-lorong sungai bawah tanah dan tersebar dengan mudah. Kawasan
karst dapat dilihat sebagai suatu ekosistem, yang didalamnya terdapat
hubungan interaksi dan interdependensi antar lingkungan fisik, non
fisik, hayati dan non hayati, serta biogeokimia baik itu pada eksokarst, maupun endokarst yang
senantiasa berhubungan. Hal ini menunjukkan bahwa sangat mudahnya
lingkungan karst itu rusak, bila salah satu komponen penyusunnya rusak
atau tercemar. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa lingkungan karst
mempunyai daya dukung yang sangat rendah.Karena sifatnya itu, daerah
karst Gunung Sewu memiliki kerentanan yang sangat tinggi.
Benturan
kepentingan untuk melakukan konservasi serta tekanan penduduk untuk
memanfaatkan sumberdaya alam karst pada akhirnya menimbulkan beberapa
permasalahan degradasi lahan karst yang terinventarisasi sebagai
berikut:
1. Kegiatan Penambangan
Kegiatan
penambangan di kawasan karst sudah dapat dikatakan sangat intensif.
Penambangan pada kawasan karst sudah menjadi kegiatan industri, baik itu
yang berskala kecil, sedang, dan besar seperti pabrik semen. Umumnya,
kegiatan penambangan adalah penambangan terhadap batu gamping yang
mengikis kubah-kubah karst. Efek yang terjadi sebagai akibat
kegiatanpenambangan diantaranya adalah Penurunan indeks keanekaragaman
hayati , Erosi dan sedimentasi, Penurunan tingkat kesuburan tanah,
Perubahan bentang alam/ lahan, dan Pencemaran badan udara dan perairan
2. Penebangan vegetasi
Kegiatan penebangan di karst Gunung Sewu sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Hasilnya
dapat dilihat bahwa sekarang sebagian besar wilayah ini merupakan lahan
kritis dan gundul. Beberapa hal yang diakibatkan oleh penebangan
vegetasi adalah enurunan penguapan (evapotranspirasi), Peningkatan kadar C02 dalam tanah, Peningkatan permeabilitas tanah permukaan (topsoil),
dan menurunnya permeabilitas subsoil. Beberapa akibat ini dapat
menyebabkan akibat yang lebih destruktif lagi, yaitu tingkat erosi
permukaan yang sangat tinggi, yang pada akhirnya hilangnya lapisan
tanah. Pembusukan akar-akar pohon yang terjadi telah mengakibatkan
berkurangnya fungsi tanah sebagai pengikat untuk menjaga kestabilan
lereng.
3. Peternakan.
4. Pembangunan jalan raya.
5. Aktivitas domestik lain.
Beberapa
hal diatas sebagian sudah merusak ekosistem karst yang ada. Degradasi
yang ada akan menurunkan tingkat sumberdaya, baik sumberdaya air maupun
sumberdaya lahannya. Berdasarkan masalah yang ada, perlu adanya
inventarisasi masalah, inventarisasi sumberdaya lahan, sumberdaya air,
untuk kemudian dikelompokkan sesuai dengan tingkat dan intensitasnya.
KONSERVASI DAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pengertian
Konservasi Sumberdaya Alam menurut UU LH no 4 tahun 1984 adalah
pengelolaan sumberdaya alam yang menjamin pemanfaatan secara bijaksana,
dan abagi sumberdaya alam terbaharui menjamin keseimbangan persediaan
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai
keanekaragamannya. Dari pengertian ini tampak secara harfiah bahwa
kawasan karst dengan segala kerentanannya layak untuk diprioritaskan
sebagai kawasan konservasi.
Peraturan
perundangan lain yang berkaitan dengan konservasi kawasan karst
diantaranya adalah PP Ri No;28 tahun 1985 tentang perlindungan hutan
dimana goa, baik yang berada pada kawasan hutan maupun non hutan
dikelola oleh departemen Kehutanan bekerjasama dengan pemerintah daerah
setempat. Untuk mengatur pertambangan di kawasan karst ada pula UU no 11
tahun 1967, Peraturan Menteri pertambangan dan Energi no.04/P/M/1977,
serta PP no 51 mengenai AMDAL. Semua peraturan perundang-undangan ini
mendukung konservasi kawasan karst.
Penataan
kawasan konservasi karst tidak akan bisa dilaksanakan tanpa mengetahui
data-data dari segala aspek yang ada pada kawasan ini, yang mencakup
aspek eksokarst, endokarst, maupun sistem antar keduanya. Tabel 2
berikut ini merupakan contoh penataam ruang karst berdasar tipologi
kawasan karst.
TABEL 2. ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN KARST
MINTAKAT
|
KARAKTERISTIK
|
FUNGSI UTAMA
|
KEGIATAN
|
Holokarst
|
Karst
berkembang baik, semua ciri-ciri karst (ponor, dolin, uvala, kubah atau
menara karst, go-goa, dan sungai bawah tanah) dapat ditemukan
|
Fungsi lindung
Bentangalam dan
ekosis-tem yang ada di
dalamnya harus tetap
dipertahankan
keasliannya.
|
Telah berpenghuni
Wisata, pertanian terbatas,
perikanan danau dolin,
permukiman terbatas
Belum berpenghuni
Wisata terbatas
|
Mesokarst
|
Karst
tidak berkembang dengan baik, kenampakan karst (ponor, dolin, uvala,
kubah atau menara karst, goa-goa, dan sungai bawah tanah) jarang
ditemukan
|
Fungsi penyangga
Bentang alam dapat dirubah dengan pertimbangan ketat
|
Pertanian, perikanan,
tambang, permukiman
atau industri dengan skala
kecil
|
Non karst
|
Batuan karbonat tidak
mempunyai ciri-ciri karst
|
Fungsi budidaya
|
Semua kegiatan dapat
dilakukan
|
PROSPEK
Di
Indonesia, faktor ekstern karst (eksokarst) lebih banyak digeluti oleh
para geologist dan geomorfologist, dan faktor intern (endokarst) oleh
para speleologist. Perkembangan aktivitas yang dimulai sekitar awal 1980
dipelopori oleh penggemar penelusuran goa yang tergabung dalam
Specavina, yang kemudian menjadi embrio dari Himpunan Kegiatan
Speleologi Indonesia (HIKESPI) yang berkedudukan di Bogor. Memang pada
kenyataannya aktivitas kegiatan pada kawasan karst lebih banyak
dilakukan oleh para penggemar kegiatan alam bebas yaitu penelusur goa (caver). Hampir di setiap propinsi mempunyai perhimpunan penggemar alam bebas yang berbasis pada kegiatan caving ini.
Dari
segi eksokarst, perkembangan aktivitas di Indonesia dirasakan lebih
lambat ataupun tidak tersedianya perhimpunan yang mengkoordinir kegiatan
ataupun riset. Pada sekitar tahun 1997 berdirilah Masyarakat Pemerhati
Karst Indonesia (MAKARTI) yang dilanjutkan dengan Perhimpunan
Ekokarstologi Indonesia (PEKINDO), yang bertujuan untuk menghimpun
kegiatan yang berkaitan dengan kawasan karst secara nasional. Dua
organisasi inidiharapkan akan mampu menjembatani pemerhati endokarst
maupun eksokarst.
Dari
segi keilmuan, penelitian-penelitian tentang kawasan karst di Indonesia
telah cukup berkembang baik. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan
baik oleh pribadi, institusi pendidikan, lembaga – lembaga pemerintah,
LSM, maupun penggemar kegiatan alam bebas. Obyek dan materi penelitian
telah meluas menjadi beberapa cabang ilmu diantaranya sebagai berikut :
Hidrologi
dan hidrospeleologi karst, Geomorfologi karst, Litologi karst,
Startigrafi kawasan karst, Peleontologi karst, Arkeologi karst,
Biospeleologi karst, Ekologi karst, Speleogenesis, Konservasi karst,
Perlindungan burung walet dan kelelawar, Vegetasi karst, Sosiobudaya
karst, Undang-undang kawasan karst, Penelusuran goa dan cave rescue,
Pedologi karst, Pemetaan goa, Foto udara dan remote sensing kawasan
karst, Tata Ruang karst, dll
Melihat
banyaknya perhatian dan riset pada berbagai cabang ilmu yang berkaitan
dengan kawasan karst di Indonesia ,patut kiranya diambil kesimpulan
bahwa kawasan karst di Indonesia merupakan obyek yang sangat menarik
untuk riset dan sangat kaya akan permasalahan serta karakteristik yang
potensial untuk diteliti.
PENUTUP
Demikian
beberapa hal mengenai karst di Indonesia, tipical karst termasyur dari
kawasan karst Gombong ,Gunung Sewu, serta Maros dan tempat lain , masih
berupa teka-teki yang menantang untuk dikaji lebih dalam. Tantangan
untuk mewujudkan karst sebagai kawasan konservasi terbentang untuk
melestarikan monumen dunia ini. International Geography Union (IGU)
melalui komisi karst pernah berencana mengadakan konggres tahunan di
Indonesia untuk membahas perkembangan ilmu karst di dunia, serta
berencana menominasikan karst Gunung Sewu sebagai Warisan Dunia (World
Heritage), namum terbentur kelembagaan yang terkait kawasan karst ini di
Indonesia yang ternyata sampai saat ini belum siap.
Dalam
kesempatan PIT IGI 1999 ini, diharapkan akan munculnya komitmen para
geograf se-Indonesia terutama yang berminat pada kawasan karst untuk
bersama-sama memikirkan, mendiskusikan, serta berupaya positif
menjadikan kawasan karst sebagai salah satu obyek kajian utama pada
pertemuan-pertemuan yang akan datang. Diharapkan pula kan adanya
kegiatan-kegiatan secara bersama untuk megembangkan keilmuan karst di
Indonesia dengan terbentuknya semacam forum komunikasi yang diharapkan
akan dapat berkembang menjadi Komisi Karst IGI yang tentunya akan dapat
menjalin kerjasama dengan komisi karst IGU untuk lebih memperhatikan dan
mengkaji kawasan karst di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Appelo, CAJ. 1986. Hidrochemistry. Amsterdam : InstItute of Earth Sicience, Free UniversIty.
Army Caving Association (ACA), 1986, 1986 – Java ExpedItion, ACA and RCT. London.
Balas, 1968, Karst Region in Indonesia, Karszt-Es Barkangkutatas-Volume V, Budapest.
Bedos, A, L. Deharveng, P. Leclerc, D. Rigal, dan P.Solier, 1990, Expeditions Maros 88 – Maros 89, Association Pyrennene de Seoleologie, France.
Bemmelen, R.W. Van. 1949. The Geology of Indonesia. The Hague : Government Printing Office.
Billings, M.P. 1960. Structural Geology. New York: Prentice – Hall, Englewood Clifffs.
Chow, Van Te. 1964. Hand-Book of Applied Hydrology. London : McGraw – Hill Book Company.
FakuItas Kehutanan UGM, 1993, Studi Penanganan Daerah Tangkapan Air (DTA) Sungai Bribin Gunung Kidul, FakuItas Kehutanan UGM, Kerjasama dengan Proyek Gerakan Penghijauan dan Penyuluhan Kehutanan DIY, Yogyakarta.
Ford, D.C. dan P.W. Wiliam, 1995, Karst Geomorphology and Hydrology, Chapmand Hall, London.
Gillieson, D., 1991, Caves: Processes, Development, Managements, Blackwell Publisherrs Ltd, Oxford, UK.
Harjosoemantri, K., 1991 Hukum Perlindungan Lingkungan : Komservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Gadjam Mada Univ Press, Yogyakarta.
Hem, J.D. 1971. Study and Interpretation of The Chemical Characteristic of Natural Water. U.S. Geological Survey Supply Zpaper No. 1473. Washington D.C. : Government Printing Office.
HIKESPI. 1996. Kumpulan Makalah Simposium Lingkungan Karst. Jakarta. HIKESPI.
Ko, R.K.T., MD.DV., 1984. Peranan Ilmu Speleologi Dalam Penyelidikan Fenomena Karstik dan Sumberdaya Tanah dan Air – Sebuah Informasi Soal Speleologi, Ceramah Pada Pusat Penelitian Tanah –Bogor, Bogor.
Kunto Wibisono. 1991. Karakteristik Airtanah Formasi Batugamping Sentolo, Kabupaten Kulon Progo. Skripsi Sarjana, Yogyakarta : FakuItas Geografi, UniversItas Gadjah Mada.
Lehmann, H., 1936, Morphologische tudien auf Java, Geogr. Abhandl. 9, Stutgard.
Linhua, S, 1996, Mechanism of Karst Depresion Evolution and Its Hydrological Ecolution, Acta Geographica Sinica, 41, 41-50.
Mahasiswa Pecinta Alam FakuItas Geografi UGM (GEGAMA), 1995, Goa Bribin – Sebuah Laporan Pemetaan dan Pemotretan. Kerjasama Dengan BAPPEDA DIY dan Dinas Pekerjaan Umum DIY, Dok. GEGAMA.
Mardiadipura, T., Amir, dan Zulfahmi, 1977, Batugamping dan Dolomit di Indonesia, Publikasi Teknik-Seri Geologi Ekonomi No. 8, Direktorat Jendral Pertambangan Umum, Bandung.
Martopo. Sugeng. 1988. Potensi Ketersediaan Air Pada Ekosistem Karst di Gunung Kidul. No : 26, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup LIT – UGM, Yogyakarta.
McDonald and Partners. 1984. Greater Yogyakarta – Groundwater Resources Study. Vol 1 : Main Report. Yogyakarta : Directorate general of Water Resources Development Project (P2AT).
_______________ 1984. Greater Yogyakarta – Cave Surveying : Main Report. Yogyakarta : Directorate general of Water Resources Development Project (P2AT).
Pannekoek, A.J. 1949. Outline of The Geomorphology Java. Luden :E.J.
Ridarso.Eko.
1996. Aplikasi Teknik Penginderaan Jauh Untuk Estimasi Jalur Sungai
Bawah Tanah Daerah Karst Tropik – Studi Kasus : Sungai Bawah Tanah
Bribin Daerah Karst Gunung Sewu Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi Sarjana, Yogyakarta : FakuItas Geografi, UniversItas Gadjah Mada.
Scoffin T.P., 1987, An Introduction to Carbonat Sediments and Rocks, Blackie & Son Limited, London.
Summerfield, M.A., 1991, Global Geomorphology, John Wiley and Sons, New York.
Todd, David KeIth. 1980. Ground Water Hydrology. New York : Mc Graw – Hill Book Company. Inc.
Widyastuti M., 1991. Pengaruh Struktur Kekar Terhadap Karakteristik Mataair di Cekungan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul. Skripsi Sarjana, Yogyakarta : FakuItas Geografi, UniversItas Gadjah Mada.