"PORTAL GEOGRAFI, LINGKUNGAN DAN TATA KOTA" Gapai mimpimu untuk masa depan yang lebih baik

PENDEKATAN PENGEMBANGAN WILAYAH INDONESIA DARI MASA KE MASA

TUGAS PENGEMBANGAN WILAYAH TERAPAN
Dosen Pengampu: Bpk. Agus Purnomo S.Pd., M.Pd
Oleh:
Nama               : Dedi Irawan
NIM                : 110401050062
Kelas               : Geografi 2011b
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN GEOGRAFI
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2013
Pendekatan Perencanaan Pengembangan Wilayah Di Indonesia
Tulisan ini berupaya untuk memaparkan perkembangan pendekatan pengembangan wilayah berdasarkan pengalaman penulis selama berkiprah di Departemen Pekerjaan Umum (sekarang Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah). Sebagai Departemen yang cukup tua dalam melaksanakan pembinaan pentaan ruang dan pengembangan wilayah, departemen ini telah memberikan kontribusi yang signifikan terhad ap perumusan pendekatan pengembangan wilayah dan mengimplementasikannya ke dalam sistem pembangunan di Indonesia. Dalam pembahasannya pendekatan pengembangan wilayah di Indonesia dibagi dalam periode tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an dan 2000-an. Untuk periode tahun 1960-an dan 1970-an, paparan hanya sekilas, mengingat keterbatasan untuk mengidentifikasi pendekatan yang ada pada masa itu. Paparan ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran guna lebih mengefisienkanpembangunan di Indonesia masa mendatang.
      A.    Pendekatan Periiode 1960-An
(1)   Pendekatan dan Prakteknya
Pada kurun waktu ini, pendekatan pembangunan yang dilakukan masih bersifat parsial dan sektoral. Sebagai negara yang baru belajar membangun, pendekatan pembangunan yangditerapkan masih terbatas dan dipengaruhi pendekatan pembangunan masa sebelumnya. Titik berat pelaksanaan pengembangan wilayah terfokus pada kawasan perkotaan, sedangkan perdesaan belum mendapat perhatian serius. Dikotomi antara pengembangan perkotaan dan perdesaan mengakibatkan primacy kota (ditandai primacy index di atas 2.0 untuk kota besar dan di atas 3.0 untuk metropolitan). Di samping itu, kesenjangan pembangunan ekonomi dan demografi kian melebar. Hal ini dapat dimengerti, karena kawasan perkotaan menjadi magnetyang menarik untuk kegiatan investasi dan penduduk tertarik ke kawasan perkotaan.
(2)   Evaluasi Praktek Pelaksanaan
Pendekatan pengembangan wilayah yang memisahkan antara pengembangan perkotaan dan perdesaan terbukti kontraproduktif terhadap pembangunan keseluruhan. Memang terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di perkotaan, tetapi di sisi lain mengakibatkan  penurunan mutu lingkungan. Di samping itu, perdesaan yang kurang terperhatikan mengakibatkan produktivitasnya menurun. Hal ini mengakibatkan beban perkotaan meningkat akibat migrasi masuk kota meninggi dan supply produksi pertanian dari perdesaan menurun.
      B.     Pendekatan Periiode 1970-An
(1)   Awal tahun 1970-an
Pengembangan wilayah mulai dipandang sebagai solusi guna mempercepat pembangunan wilayah. Meski demikian, praktek yang dilakukan masih bersifat sektoral berdasarkan kepentingan sektor masing-masing.  Kewilayahan terlihat dari penerapan ekonomi geografi (geografical economic), seperti teori lokasi, teori resources endowment dan teori pusat pertumbuhan (growth pole) (Weber, 1950). Berdasarkan teori tersebut, sektor-sektor mulai menyusun kebijakan pengembangannya dalam rangka pengembangan wilayah, sebagai berikut:
1. Sektor pertanian menerapkan pengembangan wilayah dengan menganut pembagian unit lahan berdasarkan kesesuaian lahan bagi kegiatan pertanian;
2. Sektor pertanahan menerapkan perencanaan tata guna tanah berdasarkan penilaian kondisi dan potensi lahan;
3. Sektor kehutanan memperkenalkan status/fungsi hutan melalui kriteria jenis tanah, kemiringan dan curah hujan/iklim;
4. Sektor pariwisata mengembangkan kawasan wisata melalui penetapan Wilayah Tujuan Wisata (WTW) dan Daerah Tujuan Wisata (DTW);
5. Departemen transmigrasi menetapkan perwilayahan yang dikenal dengan Wilayah Pengembangan Parsial (WPP), Satuan Kawasan Pemukiman (SKP) dan Satuan Permukiman;
6. Praktek yang dilakukan setiap sektor pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan optimasi penggunaan ruang dan wilayah, sehingga produktivitas yang optimum dapat tercapai dan diasumsikan terjadi efek tetesan ke bawah (trickle down effects).
 (2) Pertengahan 1970-an
Koreksi terhadap pendekatan mulai dilakukan, mengingat pendekatan pengembangan wilayah yang diterapkan bersifat sektoral. Selain itu, asumsi pengembangan pusat pertumbuhan akan menetes ke wilayah sekitarnya, terbukti kurang berjalan. Kenyataannya, pusat pertumbuhan “menghisap” wilayah sekitarnya. Pusat-pusat yang sudah berkembang cenderung menjadi metropolitan atau megacity. Dalam konteks itu, pendekatan ekonomi kesejahteraan(welfare economic) dengan prinsip pareto optimum yaitu pembangunan di suatu tempat tidak boleh mengurangi kemajuan di tempat lain, mulai jadi pegangan.  optimum, alat analisis seperti backward-forward linkages, urban-rural linkages, shift-share analysis, input-output, Gini coefficient, economic threshold dan sebagainya, mulai diperkenalkan. Departemen Pekerjaan Umum menerapkan pendekatan tersebut melalui:
1. Sistem pengembangan infrastruktur dalam pengembangan sentra-sentra produksi (Sutami, 1973), berupa pembangunan waduk, jaringan irigasi, pengembangan rawa, lahan pasang surut dan sebagainya, ditujukan mendorong intesifikasi dan ekstensifikasi pertanian;
2. Pendekatan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (Poernomosidhi Hadjisarosa, 1976) di mana unit produksi dengan wilayah pasarnya (SWP) dihubungkan dengan sarana perhubungan. Unit produksi berkedudukan sebagai pusat wilayah pasar (urban center) dan hubungan antarpusat urban selanjutnya membentuk hirarki perkotaan nasional (system of the cities) (Ruchyat Deni Dj., 2002);
3. Penyempurnaan pendekatan, melalui koordinasi antardaerah dan sinkronisasi program pembangunan. Mengingat pelaksanaan pembangunan dilakukan daerah, koordinasi antardaerahdalam sistem perwilayahan nasional menjadi penting (Hariri Hardy, 1974).
(3) Evaluasi Praktek Pelaksanaan Dalam prakteknya, perumusan program pengembanganwilayah masih didominasi oleh program pusat (sentralistis) dan sektoral, karena pelaksanaan asas desentralisasi dan integrasi masih dikalahkan asas dekonsenterasi masing-masing sektor. Sementara itu, program daerah belum mencerminkan aspirasi masyarakat karena tindak pelibatan masyarakat masih semu (artificial).
Meski pada akhir periode ini muncul kegiatan untuk melibatkan daerah dan masyarakat, tetapi praktek yang dilaksanakan masih merupakan kegiatan pusat yang dititipkan ke daerah seperti proyek konsolidasi lahan, Kampoong Improvement Project (KIP), UDKP dan lain-lain.
      C.    Pendekatan Periode Tahun 1980-An
(1) Awal tahun 1980-an
Periode awal tahun 1980-an ditandai dengan perumusan Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (NUDS, 1982) yang masih menggunakan konsep kutub pertumbuhan (growth pole) dalam proses pembangunannya. Hal ini terlihat dari klasifikasi kota berdasarkan besaran penduduk menjadi metropolitan, kota besar, kota sedang, dan kota kecil. Juga berdasarkan fungsi pelayanan yang diklasifikasikan dalam national development center (NDC), interregional development center (IRDC) dan local service center (LSC).
Pada periode ini, sebenarnya telah diperkenalkan pendekatan pembangunan (pada tahap pelaksanaan), yaitu Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT). Sayangnya, P3KT tidak dikaitkan dengan konsepsi pengembangan wilayah, kecuali dalam pemilihan kota prioritasnya. Pada dasarnya, P3KT merupakan alat implementasi rencana tata ruang kota secara individual. Alat agar kota berkembang sesuai tata ruang kota melalui program pembangunan prasarana kota terpadu. P3KT tidak terkait dalam struktur makro sistem kota-kota, tidak ada hubungan timbal balik dengan kota utama (primer) dan kota-desa secara hierarkis dan sistematis. Padahal, dalam pertumbuhannya, kota harus berinteraksi, mustahil individual.
Pada periode ini, juga dikenalkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), ditandai pemberlakuan UU No.4/1982 tentang “Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Keppres No. 32/1990 tentang “Kriteria dan Pola Pengelolaan Kawasan Lindung” dan beberapa peraturan mengenai analisis dampak lingkungan. Selain itu, mulai dikenalkan pendekatan wilayah fungsional yang merupakan kesatuan ekosistem (ecological system) untuk pengelolaan sungai dan pengairan. Hal ini terlihat dari pengembangan Satuan Wilayah Sungai (SWS) dan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) sebagai wilayah unit pengembangan dan manajemen sumber daya air. “satu sungai satu rencana dan satu manajemen”.
(2) Pertengahan tahun 1980-an
Sebagai kritik terhadap sistem pemerintahan sentralistik yang mengakibatkan ketidakefisienan pembangunan, mulai dikenalkan desentralisasi perencanaan. Untuk mendukung proses ini, Departemen Pekerjaan Umum menetapkan peraturan perundangan, yaitu PP No. 14/1987 tentang “Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang ke-PU-an kepada Daerah”, termasuk penyerahan urusan rencana tata ruang yang merupakan bagian bidang Cipta Karya. Implikasinya, perlu pemberdayaan daerah di bidang perencanaan.
Kegiatan yang dikerjakan, antara lain, pembentukan unit perencanaan di daerah, penyusunan NSPM dan pedoman teknis penataan ruang serta sosialisasi produk hukum terkait. Untuk mengurangi penataan ruang yang terlalu normatif, tertutup, supply driven atau hanya menampung visi perencana, dikenalkan pendekatan dinamis, partisipatif dan tanggap terhadap dinamika masyarakat serta melibatkan kepentingan stakeholders, didukung pengembangan sistem informasi penataan ruang dan sistem informasi geografis. Untuk melengkapi pendekatan sektoral, rencana tata ruang ditegaskan dalam dokumen rencana pembangunan (Buku Repelita IV dan V).
(3) Evaluasi Praktek Pelaksanaan
Dalam prakteknya, ada beberapa kelemahan dalam menerapkan pendekatan itu. Penyusunan P3KT sebagai implemtasi Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (NUDS) kerap hanya mencakup prasarana keciptakaryaan dan seolah terlepas dari pembangunan prasarana perkotaan lain, tidak terkait dalam sistem pengembangan wilayah terpadu. Hal ini barangkali menjadi kelemahan konsep P3KT. Dalam penerapan pendekatan pembangunan yangberkelanjutan (sustainable development), muncul kesulitan mengintegrasikan pendekatan pembangunan berdasarakan wilayah administrasi dan wilayah fungsional. Program masih bersifat sektoral dan daerah. Selain itu, kebijakan untuk melaksanakan pendekatan ini masih bersifat makro dan normatif sehingga sulit dilaksanakan.
     D.    Pendekatan Periiode Tahun 1990-An
(1).Awal tahun 1990-an
Kebijakan pembangunan nasional awal tahun 1990-an menekankan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, peningkatan desentralisasi, peranserta masyarakat dan dunia usahadalam pembangunan, pengembangan kawasan strategis dan pembangunan berkelanjutan yang dilandasi Agenda-21 Rio de Janeiro. kebijakan tersebut antara lain dilaksanakan melalui peberlakuan PP No. 45/1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang. Pendekatan wilayah dalam perencanaan tata ruang wilayahmengalami pendalaman dan perluasan cakupan. Dalam prosesnya, penataan ruang melakukan tinjauan komprehensif tentang wilayah, seperti penduduk, sumber daya alam, sumber daya buatan, sosial, ekonomi, fisik, serta merumuskan tujuan, sasaran dan target pengembangan wilayah. Analisisnya menggunakan model dari berbagai disiplin ilmu. Hasil kegiatan dituangkan dalam spatial plan atau rencana tata ruang.
Menurut undang-undang tersebut, penataan ruang adalah alat untuk menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan serta menjamin kegiatan ekonomi masyarakat dan wilayah. Dengan kata lain, penataan ruang adalah alat untuk menjamin pengentasan kemiskinan (berorientasi kepada masyarakat banyak) serta merupakan arahan kebijakan dan strategi spasial untuk keterpaduan program lintas sektor dan lintas wilayah. Pada periode ini dikenal hirarki Sistem Perencanaan Tata Ruang, yaitu:
1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatann ruang wilayah nasional, disusun pemerintah pusat dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP);
2. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah provinsi, disusun pemerintah provinsi dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda);
3. Rencanan Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kabupaten/Kota) yang merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota, disusun pemerintah kabupaten/kota dan ditetapkan dengan Perda kabupaten/kota.
4. Rencana-rencana rinci yang merupakan rencana detail dan teknis untuk kawasan-kawasan pada bagian wilayah kota atau kabupaten, sebagai implementasi dari perencanaanperencanaanstrategis tersebut.
(2) Akhir tahun 1990-an
Perkembangan teknologi informasi memicu tuntutan terhadap transparansi, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan, desentralisasi dan otonomi daerah serta penghargaan terhadap HAM di Indonesia. Di samping itu, pembangunan yang terlalu sentralistik dan birokratis menimbulkan permasalahan baru, yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan peran mereka dalam pembangunan dan menurunnya peran swasta dan dunia usaha dalam investasi. Situasi itu mendorong reorientasi dan transformasi perencanaan wilayah melalui penyederhanaan proses,pembangunan. Selain itu, rencana pembangunan (rencana pemanfaatan ruang) perlu dituangkan dalam rencana tindak (action plan) yang harus mampu memecahkan persoalan yang bersifatstrategis serta memanfaatkan competitive advantage di kawasan tersebut. Di Indonesia, action plan mengadopsi dan mengadapatasi model yang mendukung ilmu manajemen di kalangan bisnis,sehingga sering disebut perencanaan strategis (strategic plan).
Dalam pelaksanaannya disebut manajemen strategis (strategic management).Implementasi perencanaan strategis, ditandai penyusunan “kawasan andalan” serta sektor unggulan sebagai prime-mover dalam pengembangan kawasan. Model kawasan andalan pertama kali dikembangkan adalah model KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) yang didasarkan pada penggabungan pendekatan strategic planning dan strategic management yang dikenal dengan pendekatan IDEP (Integrated Area Development Plan). Selain itu, untuk mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat, ditetapkan PP No. 20/1994 tentang “Perubahan Pemilikan Saham dalam Rangka Penanaman Modal Asing”, paketderegulasi dan debirokratisasi dan PP No.69/1996 tentang “Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tatacara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang”.
Periode tahun 1990-an diakhiri turbulensi ekonomi dan politik yang dipicu krisis moneter dan melahirkan reformasi hukum dan perundangan, reformasi ekonomi dan reformasi sistem pemerintahan dengan ditetapkannya UU No. 22/1992 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25/ 1999 tentang Perimbangan Keuangan dan UU No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
(3) Evaluasi Praktek Pelaksanaan
Terlalu dini menyatakan gagal atau berhasil terhadap pendekatan penataan ruang yang dilaksanakan pada periode ini. Pendekatan pembangunan yang dilaksanakan seperti KAPET dan penyusunan strategic plan baru saja dilaksanakan. Meski demikian, seiring pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, pendekatan tersebut butuh banyak penyesuaian. Program pengembangan KAPET tidak dapat dipisahkan dari kewenangan daerah dalam mengembangkan wilayahnya. Dalam hal ini, keterlibatan unsur daerah seperti pemerintah daerah, DPRD, masyarakat, LSM, organisasi profesi, organisasi massa dan swasta, tidak dapat dikesampingkan.
Pendekatan Periode Tahun 2000-An
Pendekatan wilayah telah mengalami penyesuaian dalam penerapannya hingga terbentuk paradigma baru pengembangan wilayah/kawasan di era otonomi ini. Dalam paradigma baru ini,penataan ruang lebih desentralistik (bottom-up approach) dan penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) disiapkan pemerintah daerah bersangkutan dengan mengikutsertakanmasyarakat (public participation). Alternatif pengganti perencanaan di era otonomi ini adalahpenataan ruang wilayah/ kawasan yang mempunyai konsep dan karakteristik berikut:
·         Pendekatan bottom-up dan melibatkan semua pelaku pembangunan;
·         Transparan dalam perencanaan, implementasi dan pengendalian;
·         Memberi perhatian besar pada tuntutan jangka pendek;
·         Realistis terhadap tuntutan dunia usaha dan masyarakat;
·         Berwawasan luas, dengan perhatian pada kawasan lebih detail;
·         Rencana dapat dijadikan pedoman investasi;
·         Menjaga dan meningkatkan mutu lingkungan sambil mendorong dan   memfasilitasipembangunan;
·         Mempunyai visi pembangunan dan manajemen pembangunan (applicable)
Share:

No comments:

Post a Comment

Wikipedia

Search results