Daerah
Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang memegang peranan penting
dalam perkembangan berbagai kebudayaan dan peradaban yang lahir dan
tumbuh di sepanjang aliran sungai seperti peradaban di Mesir, Tiongkok
dan Mekong, serta beberapa etnis yang berkembang di sepanjang aliran
sungai, seperti di Sungai Membramo di Provinsi Papua. (Yogaswara, 2007).
Menurut UU No 7/2004 tentang sumberdaya air, Daerah Aliran Sungai (DAS)
adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan ekosistem
dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau
atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis
dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan. Pengelolaan DAS (PDAS) adalah upaya manusia dalam
mengendalikan hubungan timbal balik antara aktivitas manusia dengan
sumberdaya alam (terutama lahan, vegetasi dan air) di dalam DAS untuk
mendapatkan manfaat barang dan jasa sekaligus menjaga kelestarian DAS
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam arti luas,
pengelolaan DAS adalah upaya perlindungan dan/atau konservasi SDA/
lingkungan hidup (LH) yang meliputi kajian atau keterkaitan antara aspek
(biofisik), sosekbud, dan kapasitas kelembagaan, serta kajian
keterkaitan sektoral dan spasial di antara hulu-hilir DAS. (Asdak,2007)
Permasalahan DAS
Berbagai
permasalahan muncul dalam program pengelolaan DAS diantaranya, sampai
saat ini masih belum ada satu institusipun yang mengelola segala aspek
yang ada di dalam DAS secara utuh dari perencanaan hingga pelaksanaan
dari hulu hingga hilir. Masih banyak perbedaan pemahaman terhadap
definisi DAS baik pada tingkat pelaksana maupun pengambil keputusan.
Seperti pengertian istilah “daerah aliran sungai”, “daerah pengaliran
sungai”, dan bahkan istilah “sungai”. Permasalahan DAS yang menonjol
umumnya berkaitan dengan pengelolaan DAS yang bersifat parsial dan
sektoral, erosi-sedimentasi, banjir-kekurangan air, tanah longsor, dan
dari tahun ke tahun semakin meningkat. Siapa sebenarnya yang paling
bertanggung jawab? Apakah pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau
pemerintah kabupaten? Apakah ada institusi pemerintah yang bertanggung
jawab terhadap daerah aliran sungai?.
Penurunan
kualitas DAS disebabkan antara lain oleh: (a) Tekanan penduduk yang
meningkat: pembangunan industri, pemukimam, infrasturuktur, sampah dan
limbah industri ; (b) rendahnya kapasitas institusi yang tugasnya
mencegah dan merehabilitasi kerusakan sumberdaya, c) kegagalan pasar, d)
Kebijakan yang belum berpihak kepada pelestarian sumberdaya alam (SDA),
e) Koordinasi yang belum optimal antar stakeholder terkait, dan f)
Kesadaran dan partisipasi berbagai pihak termasuk sebagian masyarakat
yang masih kurang dalam konteks pemanfaatan dan pelestarian SDA.
(Workshop pengelolaan DAS 2009)
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
DAS
merupakan suatu ekosistem yang terdapat unsur biotik dan abiotik yang
saling berinteraksi. Ekositem DAS dapat dibagi menjadi daerah hulu, dan
daerah hilir. Daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, sedangkan
daerah hilir sebagai daerah pemanfaatan. Pengelolaan daerah aliran
sungai dituntut suatu pemahaman yang multidimensi.
Sungai
sebagai tampungan sumberdaya alam yang mengalir (flowing resources),
tidak mengenal batas administrasi, pemanfaatan air di hulu akan
menghilangkan peluang di hilir (opportunity value), pencemaran di hulu
akan menimbulkan biaya sosial di hilir (externality effect) dan
pelestarian di hulu akan memberi manfaat di hilir. Sehingga berbagai
konsekuensi perlu dipertimbangkan dalam pengaturan desentralisasi
pengelolaanya.
Wilayah
administrasi bagian hulu adalah penjaga kelestarian sumberdaya air,
tetapi penerima manfaat utamanya adalah wilayah administrasi bagian
hilir. Contoh ; pencemaran air di wilayah administrasi bagian hulu akan
memberikan dampak social di wilayah adiminstrasi lainnya di bagian hilir
(externality effect). Manfaat atau dampak negatif di bagian hulu
menimbulkan biaya sosial di wilayah administrasi bagian hilir, sehingga
perlu pengaturan pembagian pembebanan dan pendapatan secara proporsional
antara pemerintah daerah yang berada dalam satu wilayah DAS.
Stakeholder Pengelolaan DAS
Berdasarkan
Permen No P.26/Menhut-II/2006 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan
DAS Terpadu disebutkan bahwa pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya
pengelolaan sumberdaya yang menyangkut banyak pihak. Masyarakat
merupakan unsur pelaku utama, sedangkan pemerintah sebagai unsur
pemegang otoritas kebijakan, fasilitator dan pengawas yang
direpresentasikan oleh instansi-instansi sektoral pusat dan daerah yang
terkait dengan pengelolaan DAS.
Stakeholder
pemerintah yang dapat berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan DAS
antara lain : Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertanian, Departemen Energi dan
Sumberdaya Mineral (ESDM), Departemen Perikanan dan Kelautan, Departemen
Kesehatan dan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Departemen kehutanan
berperan dalam penatagunaan hutan, pengelolaan kawasan konservasi dan
rehabilitasi DAS. Departemen Pekerjaan Umum berperan dalam pengelolaan
sumberdaya air dan tata ruang. Departemen Dalam Negeri berperan dalam
pemberdayaan masyarakat di tingkat daerah. Departemen Pertanian berperan
dalam pembinaan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pertanian dan
irigasi. Departemen ESDM berperan dalam pengaturan air tanah,
rehabilitasi/ reklamasi kawasan tambang. Departemen Perikanan dan
Kelautan berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, sedangkan KLH
dan Departemen Kesehatan berperan dalam pengendalian kualitas
lingkungan. Pemerintah daerah provinsi berperan sebagai Koordinator/
fasilitator/ regulator/ supervisor untuk pengelolaan DAS yang lingtas
kabupaten/ kota, sedangkan pemerintah kabupaten/ Kota beserta instansi
teknis terkait di dalamnya berperan sebagai koordinator/ fasilitator/
regulator/ Supervisor pengelolaan DAS di wilayah kabupaten/ kota serta
dapat berperan sebagai pelaksana dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
Pihak-pihak
lain yang mendukung keberhasilan pengelolaan DAS antara lain unsur
legislatif, yudikatif, perguruan tinggi lembaga penelitian, LSM dan
lembaga donor. Oleh karena itu diperlukan koordinasi dengan mendasarkan
pada hubungan fungsi melalui pendekatan keterpaduan. Dengan demikian
dalam pelaksanaan pengelolaan DAS diperlukan ada kejelasan wewenang dan
tanggung jawab setiap pihak (siapa, mengerjakan apa, bilamana, dimana,
dan bagaimana).
Tata Ruang Air
Dalam
era otonomi daerah maka pemerintah provinsi sebaiknya bertindak sebagai
leader untuk mengkoordinir seluruh institusi yang berada di daerahnya
guna bersama-sama menyusun suatu tata ruang dalam suatu DAS. Bappeda
Provinsi memiliki peranan penting dalam mendorong peran aktif pemerintah
kabupaten atau kota yang berada pada satu DAS untuk menyusun tata
ruang. Sebagai rujukan, ada dua instasi pusat di daerah dapat dijadikan
sebagai nara sumber adalah Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(BPDAS) dan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA).
Alasan
penting, kenapa DAS dipakai sebagai acuan penyusunan tata ruang karena
seluruh daratan terbagi habis dalam suatu DAS dan DAS merupakan suatu
sistem dan satu kesatuan yang saling terkait antara daerah hulu, tengah
dan hilir. Dalam hal ini, menurut Soma Soekmana pengertian tata ruang
air, tidak berarti semata-mata menata airnya tetapi penataan ruang yang
memberikan perhatian lebih kepada fungsi air agar keseimbangan air
terjaga.
Menurut Soma Soekmana indikator yang dapat dipakai untuk menilai keseimbangan air adalah :
- Pada saat musim hujan tidak menimbulkan masalah banjir dan pada saat musim kemarau tidak kekurangan air,
- Menata ruang daratan dengan memberikan tempat yang semestinya bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke dalam tanah melalui proses infiltrasi dan perkolasi,
- Kapasitas larian air (run-off) menjadi minimal,
- Bidang resapan air baik di hulu dan hilir harus memadai,
- Fungsi resapan air di bagian hulu yang paling baik adalah apabila fungsi kawasan hutan dapat maksimal.
Tata
ruang yang telah dibuat oleh Bappeda Provinsi bersifat makro, oleh
karena itu perlu dilakukan pendetailan dengan membuat tata ruang yang
bersifat mikro di dalam suatu DAS tertentu. Salah dasar dari tata ruang
mikro tersebut adalah peta-peta yang dihasilkan oleh BPDAS dan BPSDA.
Agar
Tata Ruang tersebut lebih kuat, maka perlu dituangkan dalam sebuah
produk hukum berupa Perda baik pada tingkat provinsi maupun kebupaten
atau kota di DAS tertentu” (Winarto Bambang 2009). Harapannya, dengan
adanya payung hukum tersebut dapat mengikat dan dipatuhi oleh semua
masyarakat. Sehingga tata ruang DAS mikro tersebut secara efektif dapat
digunakan untuk mencegah atau mengurangi bencana banjir atau tanah
longsor.
Untuk
dapat mewujudkan tata ruang mikro DAS diperlukan bebarapa syarat : (1).
Terdapat pemahaman yang sama tentang arti DAS, (2) kejelasan tentang
siapa yang memimpin/komandan apakah 'Bupati/Gubernur', (3) adanya
pembangian tugas yang jelas antar instansi pemerintah siapa berbuat apa,
(4) adanya komitmen dari pemerintah provinsi dan kabupetan/kota, (5)
terakhir adalah memberikan punishment terhadap pelanggaran tata ruang
mikro DAS.