Tanah vertisol
ini memiliki lapisan solum tanah yang agak dalam atau tebal yaitu
antara 100-200 cm, berwarna kelabu sampai hitam, sedang teksturnya
lempung berliat sampai liat. Kandungan liat tanah vertisol ini
mempunyai tinggi lebih dari 30% pada seluruh horizon, dengan sifat
mengembang dan mengkerut. Dimana pada keadaan kering tanah mengkerut
menjadi pecah-pecah dan sebaliknya saat basah tanah mengembang dan
lengket. Retakan-retakan tanahnya pada saat kering ini lebarnya bisa
mencapai 25 cm dan dalamnya bisa mencapai 60 cm dan keras
berbongkah-bongkah.
Tanah vertisol
mempunyai kemampuan meremah sendiri (self churning) dan humus
menunjukkan adanya timbulan mikro gilgai, cermin sesar, dan struktur
tanah berbentuk baji berukuran sangat kasar. Kurang lebih tanah yang
ekuivalen adalah tanah lempung margalitik, grumosol, regurs, tirs, dan
tanah kapas hitam.
Tanah Vertisol akan mengalami retak-retak saat musim kering |
Hardjowigeno
menyatakan bahwa faktor penting dalam pembentukan tanah ini adalah
adanya musim kering di setiap tahun, meskipun lama musim kering tersebut
bervariasi. Di daerah yang paling kering, tanah hanya paling basah
selama beberapa minggu setiap tahun.
Struktur tanah
vertisol adalah keras dibagian atas dan gumpal dibagian bawah, dengan
konsistensi teguh atau keras kalau kering. Batas horizon dari susunan
horizon AC ini adalah agak nyata, tetapi tidak terdapat horizon aluvial
dan iluviasi.
Kandungan bahan
organik lapisan tanah atas pada umunya rendah, yaitu 1-3,5 persen.
Semakin kebawah semakin menurun. Reaksi tanah dapat dilihat dari pH-nya
antara 6,0-8,0 yaitu asam agak alkalis. Kandungan unsur hara banyak
tergantung pada bahan induknya, yaitu bahan induk dari mergel atau
napal, batu liat dan tuf vulkan. Yang berasal dari batu liat dan mergel
umumnya lebih miskin, sedangkan dari tuf vulkan relatif lebih kaya.
Mineral liat pada tanah ini adalah dari golongan monmoriolit. Daya
menahan air cukup baik, sedangkan permeabilitasnya cukup lambat dan
sangat peka terhadap bahaya erosi
.
Secara umum
dapat disebutkan bahwa tanah ini memiliki sifat-sifat fisik dan kimia
yang agak jelek sampai sedang. Oleh sebab itu nilai produktivitas
tanahnya rendah sampai sedang (E. Saifudin Sarief, 1993).
Secara kimiawi
Vertisol tergolong tanah yang relatif kaya akan hara karena mempunyai
cadangan sumber hara yang tinggi, dengan kapasitas tukar kation tinggi
dan pH netral hingga alkali (Deckers , 2001)
Tanah vertisol
memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi. Tingginya kapasitas tukar
kation ini disebabkan oleh tingginya kandungan liat yang terbungkus
mineral Montmorillonit dengan muatan tetap yang tinggi. Kandungan bahan
organik sungguhpun tidak selalu harus tinggi mempunyai kapasitas tukar
kation yang sangat tinggi. Kation-kation dapat tukar yang dominan adalah
Ca dan Mg dan pengaruhnya satu sama lain sangat berkaitan dengan asal
tanah (Lopulisa, 2004).
Dalam
perkembangan klasifikasi ordo Vertisol, pH tanah dan pengaruhnya tidak
cukup mendapat perhatian. Walaupun hampir semua tanah dalam ordo ini
mempunyai pH yang tinggi. Tapi pada daerah-daerah tropis dan subtropis
umumnya dijumpai Vertisol dengan pH yang rendah. Dalam menilai potensi
Vertisol untuk pertanian hendaknya diketahui bahwa hubungan pH dengan Al
terakstraksi berbeda dibanding dengan ordo lainnya. pH dapat tukar
nampaknya lebih tepat digunakan dalam menentukan nilai pH Vertisol masam
dibanding dengan kelompok masam dari ordo-ordo lainnya. Perbedaan
tersebut akan mempunyai implikasi dalam penggunaan tanah ini untuk
pertumbuhan tanaman. Batas-batas antara antara kelompok masam dan tidak
masam berkisar pada pH 4,5 dan sekitar 5 dalam air (Lopulisa, 2004).
Penyebaran
tanah ini di Indonesia seluas kira-kira satu juta hektar dari barat ke
timur, dimulai dari Jawa Tengah terus ke Jawa Timur, Pulau Madura, Nusa
Tenggara, dan maluku (E. Saifudin Sarief, 1993).
Tumbuhan
penutup tanahnya (vegetasinya) terdiri dari padang rumput, stepa dan
savanna. Bisa dipergunakan untuk tegalan, perkebunan tebu, kapas,
tembakau, persawahan (padi sawah), tanaman jagung kedelai dan hutan jati
(E. Saifudin Sarief, 1993).