Sumberdaya
pesisir dan laut dewasa ini mengalami degradasi sebagai akibat dari
perilaku pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Pemanfaatan cenderung
bersifat destruktif dan merusak, serta tidak mempertimbangkan aspek
konservasi dan keberlanjutan sumberdaya. Masyarakat memegang peranan
penting, karena itu pengelolaan dengan berbasis pemberdayaan sumberdaya
lokal.
Sumberdaya
alam pesisir dan laut, dewasa ini sudah semakin disadari banyak orang
bahwa sumberdaya ini merupakan suatu potensi yang cukup menjanjikan
dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan.
Ghofar (2004), mengatakan bahwa perkembangan eksploitasi sumberdaya alam
laut dan pesisir dewasa ini (penangkapan, budidaya, dan ekstraksi
bahan-bahan untuk keperluan medis) telah menjadi suatu bidang kegiatan
ekonomi yang dikendalikan oleh pasar (market driven) terutama
jenis-jenis yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mendorong
eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir dalam skala dan intensitas
yang cukup besar. Sedangkan ketersediaan (stok) sumberdaya ikan pada
beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata telah
dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam.
Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan
nyaris hilang dari perairan Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah
oleh peningkatan jumlah armada penangkapan, penggunaan alat dan teknik
serta teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Secara ideal
pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan hidupnya harus mampu menjamin
keberlangsungan fungsi ekologis guna mendukung keberlanjutan usaha
perikanan pantai yang ekonomis dan produkstif. Keberlanjutan fungsi
ekologis akan menjamin eksistensi sumberdaya serta lingkungan hidup
ikan. Kawasan pesisir merupakan kawasan yang memiliki banyak potensi
dalam hal fungsinya sebagai suatu ekosistem dan penahan abrasi serta
sumber daya hasil laut yang terkandung di dalamnya. Potensi ini dapat
membangkitkan perekonomian masyarakat dan menjadi pendapatan daerah.
Maka dari itu diharapkan daerah juga, harus mampu mendorong masyarakat
untuk lebih berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena
itu, proses pengembangan kawasan pesisir dan laut hendaknya disusun
dalam bingkai pendekatan integralistik yang sinergistik dan harmonis,
dengan memperhatikan sistem nilai dan kelembagaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat serta sejalan dengan sumber-sumber potensi
lokal.
Dalam aspek
pembangunan perikanan dan kelautan dengan pemberdayaan kearifan lokal,
tampak belum begitu berjalan secara sinergis. Banyak program dan
kegiatan pembangunan yang melibatkan masyarakat pesisir dan nelayan
umumnya masih didesain dari atas (top down). Kearifan lokal dan tradisi
serta aturan-aturan adat belum dilirik sebagai suatu yang dapat
menjembatani suksesnya program kegiatan pembangunan. Orientasi
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan masih bersifat proyek, belum
terlalu menyentuh pada aspek-aspek pemberdayaan dan belum mengakomodasi
sumberdaya lokal berserta capital culture yang dimiliki oleh
masyarakat setempat. Pada hal di sisi lain, adanya pemberdayaan
kerarifan lokal dan pelibatan masyarakat dalam keseluruhan proses dapat
membangkitkan kesadaran, motivasi, keiklasan dan kesungguhan
hatisehingga mereka ikut bertanggung jawab secara penuh terhadap
suksesnya suatu program. Selanjutnya, perilaku yang positif yang
berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya peisir akan mampu bertahan dan
menjadi dasar filosofi dalam membangun kehidupan bersama dengan makhluk
lain secara serasi, selaras, dan harmonis dengan lingkungan dalam satu
komunitas ekologis.
Keraf
(2002), mengatakan bahwa kearifan lokal/tradisional adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan
atau etika yanag menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam
komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional
merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk
menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus
bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya
alam.
Kearifan
lokal dan tradisi serta aturan-aturan adat belum dilirik sebagai suatu
yang dapat menjembatani suksesnya program kegiatan pembangunan.
Orientasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan masih bersifat proyek,
belum terlalu menyentuh pada aspek-aspek pemberdayaan dan belum
mengakomodasi sumberdaya lokal berserta capital culture yang dimiliki
oleh masyarakat setempat. Pada hal di sisi lain, adanya pemberdayaan
kerarifan lokal dan pelibatan masyarakat dalam keseluruhan proses dapat
membangkitkan kesadaran, motivasi, keiklasan dan kesungguhan hati
sehingga mereka ikut bertanggung jawab secara penuh terhadap suksesnya
suatu program. Lebih lanjut perilaku yang positif yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya peisir akan mampu bertahan dan menjadi dasar
filosofi dalam membangun kehidupan bersama dengan makhluk lain secara
serasi, selaras, dan harmonis dengan lingkungan dalam satu komunitas
ekologis.
Pendekatan
pemberdayaan masyarakat yang bepusat pada manusia (people-centered
development) ini kemudian melandasi wawasan pengelolaan sumberdaya lokal
(community-based management), yang merupakan mekanisme perencanaan
people-centered development yang menekankan pada teknologi pembelajaran
sosial (social learning) dan strategi perumusan program. Adapun tujuan
yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemapuan masyarakat dalam
mengaktualisasikan dirinya (empowerment). Pengelolaan berbasis
masyarakat atau biasa disebut Community-Based Management, menurut
Nikijuluw (1994) dalam Latama (2002), merupakan pendekatan pengelolaan
sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan
masyarakat local sebagai dasar pengelolaanya. Selain itu mereka juga
memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam
kepercayaannya (religion). Carter (1996) dalam Latama (2002) memberikan
defenisi pengelolaan berbasis masyarakat sebagai sebagai suatu strategi
untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana pusat
pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara
berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi
dalam masyarakat di daerah tersebut. Undang-Undang No.31 Tahun 2004
tentang Perikanan sebagai pengganti UU No. 09 Tahun 1985 yang ditelah
disahkan oleh DPR RI tanggal 14 September 2004 dalam pasal 6 ayat (2)
berbunyi : Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal
serta memperhatikan peran-serta masyarakat.
Kebijakan
pembangunan perikanan pada masa yang akan datang hendaknya didasarkan
pada landasan pemahaman pendekatan permasalahan pembangunan perikanan
itu sendiri, yaitu mulai dari permasalahan mikro sampai pada
permasalahan di tingkat makro yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat
nelayan. Permasalahan mikro yang dimaksudkan adalah persoalan internal
masyarakat nelayan dan petani ikan menyangkut aspek sosial budaya
seperti pendidikan, mentalitas, dan sebagainya. Aspek ini yang
mempengaruhi sifat dan karakteristik masyarakat nelayan dan petani ikan.
Karena usaha perikanan sangat bergantung pada musim, harga dan pasar
maka sebagian besar karakter masyarakat pesisir tergantung pada
faktor-faktor seperti:
1.
Kehidupan masyarakat nelayan dan petani ikan menjadi amat tergantung
pada kondisi lingkungan atau rentan pada kerusakan khususnya pencemaran
atau degradasi kualitas lingkungan.
2.
Kehidupan masyarakat nelayan sangat tergantung pada musim.
Ketergantungan terhadap musim ini akan sangat besar dirasakan oleh
nelayan-nelayan kecil.
3.
Persoalan lain dari kelompok masyarakat nelayan adalah ketergantungan
terhadap pasar. Hal ini disebabkan komoditas yang dihasilkan harus
segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau membusuk
sebelum laku dijual. Karakteristik ini mempunyai implikasi yang sangat
penting yaitu masyarakat nelayan sangat peka terhadap fluktuasi harga.
Perubahan harga sekecil apapun sangat mempengaruhi kondisi sosial
masyarakat nelayan.
Keuntungan
dari program Inovasi program kearifan lokal ini adalah adanya
pengembangan karakteristik kemasyarakatan yang bergantung pada alam
sehingga dapat menangani adanya permasalahan sosial seperti kesenjangan
sosial yang membedakan buruh tani ikan dengan nelayan pemilik dan
Kearifan lokal harus dapat diakomodir sebagai salah satu pranata hokum
yang dapat memperkecil terjadinya konflik antar nelayan. Salah satu
bentuk akomodasi kearifan lokal ini adalah melalui penyusunan tata ruang
wilayah pesisir. Hingga saat ini masih belum banyak daerah dan kawasan
pesisir yang memilikinya sehingga belum memiliki kesamaan misi dari
berbagai pengaturan dan kebijakan yang dibuat untuk pengelolaan
sumberdaya tersebut. Hal yang menarik dari macam-macam kearifan lokal
yang dimiliki masyarakat pesisir adalah bahwa mereka begitu menyadari
akan betapa pentingnya sumberdaya pesisir dan laut dalam menopang
kehidupan mereka.
Jadi,
diharapkan dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
yang ditujukan untuk memberdayakan sosial ekonomi masyarakat maka
masyarakat seharusnya memiliki kekuatan besar untuk mengatur dirinya
sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di era otonomi
ini. Proses peralihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat harus
dapat diwujudkan. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi tanggung
jawab pemerintah seperti soal kebijakan fiskal sumberdaya, pembangunan
sarana dan prasarana, penyusunan tata ruang pesisir, serta perangkat
hukum pengelolaan sumberdaya. Meski hal tersebut menjadi bagian dari
kewenangan pemerintah, namuntidak berarti masyarakat tidak memiliki
kontribusi dan partisipasi dalam setiap formulasi kebijakan. Dengan
adanya kontribusi dan partisipasi masyarakat maka kebijakan yang
diformulasikan tersebut akan lebih menyentuh persoalan yang sebenarnya
dan tidak merugikan kepentingan publik.
No comments:
Post a Comment