Mengawali kerja beratnya, Pemerintah telah menetapkan sasaran- sasaran
ekonomi yang diungkapkan dalam indikator-indikator laju pertumbuhan
berikut: Mendorong laju pertumbuhan ekonomi dari 4,5% pada tahun 2003
menjadi 7,6% pada tahun 2009, sehingga dalam lima tahun mendatang dapat
mencapai rata-rata 6,6% per tahun. Tingkat pertumbuhan ini, secara
teoritik, diperlukan untuk menurunkan angka pengangguran dan ingkat
kemiskinan. Pengangguran akan dikurangi dari 9,5% pada tahun 2003
menjadi 6.7 % pada tahun 2009. Sedangkan tingkat kemiskinan ditekan dari
16,6 % pada tahun 2004 menjadi 8,2 % pada tahun 2009. Sasaran laju
pertumbuhan di atas hanya akan tercapai
Paparan skenario di atas tidak secara spesifik menunjukkan pada segmen industri apa prioritas pengembangan akan difokuskan. Pengembangan Agroindustri
merupakan salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan. Sebagai industri
berbasis sumber daya, Agroindustri berpotensi dapat meningkatkan
cadangan devisa serta penyediaan lapangan kerja. Hal ini dinilai
strategis mengingat Indone- sia merupakan satu dari sedikit negara di
daerah tropis yang memiliki keragaman hayati (biodiversity) cukup besar.
Untuk sektor perkebunan saja tidak kurang dari 145 komoditi yang
tercatat sebagai komoditi binaan, sementara yang memiliki nilai ekonomis
dapat diandalkan baru sekitar 10% diantaranya kelapa sawit, karet,
kopi, jambu mete (Saragih, 2002). Selanjutnya, pengembangan Agroindustri
akan sangat strategis apabila dilakukan secara terpadu dan
berkelanjutan. Pengertian terpadu adalah keterkaitan usaha sektor hulu
dan hilir (backward and forward linkages), serta pengintegrasian kedua
sektor tersebut secara sinergis dan produktif. Sedangkan dengan konsepsi
berkelanjutan, diartikan sebagai pemanfaatan teknologi konservasi
sumberdaya dengan melibatkan kelompok/lembaga masyarakat, serta
pemerintah pada semua aspek. Dengan demikian diperlukan jaringan kerja
dan peran aktif semua pihak yang terkait. Keterpaduan dan berkelanjutan
inilah yang menempatkan UKM yang tergabung dalam sentra sentra, menjadi
variabel penting. Hal ini karena Agroindustri, yang memproduksi kebutu-
han konsumsi masyarakat memiliki “mul- tiplier effects” tinggi karena
keterlibatan berbagai komponen dalam masyarakat (Tambunan, 2003). Dari
sisi Perkembangan usaha dan kelembagaan, Departemen Perindustrian
mendata 40 jenis komoditi dari air minum, ikan dalam kaleng, kecap,
sampai dengan makanan ringan (snack food). Data yang dikumpulkan
Depperindag (2003) menunjukkan bahwa perusahaan yang terlibat dalam
Agroindustri, jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000
tercatat 2.673 perusahaan, dan berkembang menjadi 2.924 perusahaan pada
tahun 2004. Meningkatnya jumlah perusahaan Agroindustri ternyata
berdampak terhadap meningkatnya jumlah tenaga kerja. Total tenaga kerja
pada tahun 1999 adalah 735.388 dan tumbuh menjadi 744.777 pada tahun
2003. Jumlah tenaga kerja ini adalah karyawan yang terlibat langsung
dalam perusahaan. Jumlahnya akan jauh lebih besar bila memperhitungkan
tenaga kerja yang tidak langsung terkait dengan perusahaan Agroindustri,
misalnya pedagang pengecer, pemasok, dan tenaga permanen. Sementara
itu, Perkembangan kapasitas produksi menunjukkan gambaran bahwa masih
banyak kemampuan produk yang bisa dioptimalkan. Data yang ada
menunjukkan bahwa pada semua komoditi, total kapasitas terpasang masih
lebih besar dibandingkan dengan produksi riil. Rata- rata utilitas pada
tahun 2001 adalah 56.25% dan menjadi 14.94% pada tahun 2004.
Dengan
demikian terjadi peningkatan produksi, yang lebih banyak dapat
memanfaatkan kapasitas terpasang. Dalam kegiatan ekspor-impor, Agroindustri
juga menunjukkan Perkembangan. Dengan menggunakan ukuran berat/tonase,
maka pada tahun 2000 diekspor 5.442 metrikton, meningkat menjadi 5.937
metrikton tahun 2003. Nilainya meningkat dari USD 2.743 juta pada tahun
2000 menjadi USD 3.769 juta pada tahun 2003. Sementara itu, dari sisi
impor, ternyata juga mengalami kenaikan yaitu dari 1.835 metrikton pada
tahun 2000 bernilai USD 696 juta menjadi 3.217 metrikton senilai USD
1.217 juta pada tahun 2003. Dari sisi investasi dalam agorindustri
menunjukkan peningkatan walaupun tidak signifikan, yaitu dari total
investasi sebesar Rp. 26.729 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp. 27.850
milyar pada tahun 2003. Data sebagaimana dilaporkan di atas secara umum
menggambarkan tren peningkatan dalam berbagai aspek pengembangan
Agroindustri. Sudah barang tentu tren umum di atas kurang menampakkan
aspek lain yang lebih rinci, misalnya; proporsi Perkembangan Komoditas
strategis, jenis dan sebaran Komoditas di masing-masing wilayah, dan
produktivitas masing-masing unit produksi.
Masalah umum yang dihadapi dalam pengembangan Agroindustri adalah potensi
Agroindustri yang sangat besar belum sepenuhnya mampu diwujudkan secara
berdaya-guna dan berhasil-guna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan
sumberdaya permodalan, hambatan teknologi dan rendahnya efektivitas
kelembagaan yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi strategis di atas.
Permasalahan tersebut muncul karena danya beberapa titik lemah dalam
kebijakan dan implementasi program pengembangan Agroindustri di Indonesia.
sumber: disini atau
http://wardhany-agroindustri.blogspot.com/2009/10/perkembangan-komoditas-agroindustri-di.html
No comments:
Post a Comment