"PORTAL GEOGRAFI, LINGKUNGAN DAN TATA KOTA" Gapai mimpimu untuk masa depan yang lebih baik

MAKALAH KONFERENSI LAHAN

 
 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

       Bimbingan dan konseling pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, pencegahan terhadap timbulnya masalah yang akan menghambat perkembangannya, dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, baik sekarang maupun masa yang akan dating. Sehubungan dengan target populasi layanan bimbingan dan konseling, layanan ini tidak terbatas pada individu yang bermasalah saja, tetapi meliputi seluruh siswa. (Nurihsan, 2006: 42)
         Sejalan dengan visi tersebut, maka misi bimbingan dan konseling harus membantu memudahkan siswa mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya seoptimal mungkin, sehingga terwujud siswa yang tangguh menghadapi masa kini dan masa mendatang.
Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian yang integral dari keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah menjadi tanggung jawab bersama antara personel sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, konselor, dan pengawas.

B.    RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.    Apa yang dimaksud dengan konferensi kasus?
2.    Apa tujuan dilakukannya konferensi kasus?
3.    Bagaimana langkah-langkah dalam konferensi kasus?
4.    Bagaimana bentuk konferensi kasus?
5.    Seperti apa contoh konferensi kasus itu?

C.    TUJUAN
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah:
1.    Untuk menambah ilmu pengetahuan tentang pengertian konferensi kasus
2.    Untuk mengetahui tujuan dilakukannya konferensi kasus
3.    Untuk mengetahui langkah seperti apa yang harus dilakukan dalam melakukan konferensi kasus
4.    Untuk mengetahui bentuk konferensi kasus yang ada di lapangan
5.    Untuk mengetahui contoh konferensi kasus yang terjadi




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Konferensi Kasus
Konferensi kasus merupakan kegiatan pendukung atau pelengkap dalam Bimbingan dan Konseling untuk membahas permasalahan siswa (konseli) dalam suatu pertemuan, yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan siswa (konseli).
Memang, tidak semua masalah yang dihadapi siswa (konseli) harus dilakukan konferensi kasus. Tetapi untuk masalah-masalah yang tergolong pelik dan perlu keterlibatan pihak lain tampaknya konferensi kasus sangat penting untuk dilaksanakan. Melalui konferensi kasus, proses penyelesaian masalah siswa (konseli) dilakukan tidak hanya mengandalkan pada konselor di sekolah semata, tetapi bisa dilakukan secara kolaboratif, dengan melibatkan berbagai pihak yang dianggap kompeten dan memiliki kepentingan dengan permasalahan yang dihadapi siswa (konseli).

B.    Tujuan Konferensi kasus

Secara umum, tujuan diadakan konferensi kasus yaitu untuk mengusahakan cara yang terbaik bagi pemecahan masalah yang dialami siswa (konseli) dan secara khusus konferensi kasus bertujuan untuk:
1.    mendapatkan konsistensi, kalau guru atau konselor ternyata menemukan berbagai data/informasi yang dipandang saling bertentangan atau kurang serasi satu sama lain (cross check data)
2.    mendapatkan konsensus dari para peserta konferensi dalam menafsirkan data yang cukup komprehensif dan pelik yang menyangkut diri siswa (konseli) guna memudahkan pengambilan keputusan
3.    mendapatkan pengertian, penerimaan, persetujuan dari komitmen peran dari para peserta konferensi tentang permasalahan yang dihadapi siswa (konseli) beserta upaya pengentasannya.

C.    Langkah-langkah Dalam Konferensi Kasus

Konferensi kasus dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1.    Kepala sekolah atau Koordinator BK/Konselor mengundang para peserta konferensi kasus, baik atas insiatif guru, wali kelas atau konselor itu sendiri. Mereka yang diundang adalah orang-orang yang memiliki pengaruh kuat atas permasalahan dihadapi siswa (konseli) dan mereka yang dipandang memiliki keahlian tertentu terkait dengan permasalahan yang dihadapi siswa (konseli), seperti: orang tua, wakil kepala sekolah, guru tertentu yang memiliki kepentingan dengan masalah siswa (konseli), wali kelas, dan bila perlu dapat menghadirkan ahli dari luar yang berkepentingan dengan masalah siswa (konseli), seperti: psikolog, dokter, polisi, dan ahli lain yang terkait.
2.    Pada saat awal pertemuan konferensi kasus, kepala sekolah atau konselor membuka acara pertemuan dengan menyampaikan maksud dan tujuan dilaksanakan konferensi kasus dan permintaan komitmen dari para peserta untuk membantu mengentaskan masalah yang dihadapi siswa (konseli), serta menyampaikan pentingnya pemenuhan asas–asas dalam bimbingan dan konseling, khususnya asas kerahasiaan.
3.    Guru atau konselor menampilkan dan mendekripsikan permasalahan yang dihadapi siswa (konseli). Dalam mendekripsikan masalah siswa (konseli), seyogyanya terlebih dahulu disampaikan tentang hal-hal positif dari siswa (konseli), misalkan tentang potensi, sikap, dan perilaku positif yang dimiliki siswa (konseli), sehingga para peserta bisa melihat hal-hal positif dari siswa (konseli) yang bersangkutan. Selanjutnya, disampaikan berbagai gejala dan permasalahan siswa (konseli) dan data/informasi lainnya tentang siswa (konseli) yang sudah terindentifikasi/terinventarisasi, serta upaya-upaya pengentasan yang telah dilakukan sebelumnya.
4.    Setelah pemaparan masalah siswa (konseli), selanjutnya para peserta lain mendiskusikan dan dimintai tanggapan, masukan, dan konstribusi persetujuan atau penerimaan tugas dan peran masing-masing dalam rangka pengentasan/ remedial atas masalah yang dihadapi siswa (konseli).
5.    Setelah berdiskusi atau mungkin juga berdebat, maka selanjutnya konferensi menyimpulkan beberapa rekomendas/keputusan berupa alternatif-alternatif untuk dipertimbangkan oleh konselor, para peserta, dan siswa (konseli) yang bersangkutan, untuk mengambil langkah-langkah penting berikutnya dalam rangka pengentasan masalah siswa (konseli).

D.    Bentuk Kerjasama Guru Dengan Konselor

        Pelaksanaan tugas pokok guru dalam proses pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari kegiatan bimbingan, sebaliknya layanan bimbingan di sekolah perlu bimbingan atau bantuan guru.
Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksnakan oleh guru, konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu, masing-masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan fungsional kemitraan antara konselor dengan guru, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan (referal).
Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru pada saat pembelajaran dirujuk kepada konselor untuk penanganannya. Demikian pula, masalah-masalah peserta didik yang ditangani konselor terkait dengan proses pembelajaran bidang studi dirujuk kepada guru untuk menindaklanjutinya.
Masalah kesulitan belajar peserta didik sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini berarti dalam pengembangan dan proses pembelajaran fungsi-fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru. Sebaliknya, fungsi-fungsi pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian konselor

E.    Contoh Kerjasama Guru Dengan Konselor
•    KERJASAMA GURU DAN KONSELOR SEBAGAI RESOLUSI KECEMASAN SISWA MENGHADAPI UN (Ujian Nasional)
1. Bagaimana timbulnya kecemasan siswa dalam menghadapi ujian nasional
Semua orang melagamai kecemasan misalnya gelisah anaknya belum pulang, bagi peserta didik biasanya geliah kalau terlambat ke tempat ujian dan lain sebainya. Kecemasan merupakan suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan, timbul secara mendadak, dan ini bisa terjadi di semua objek kegiatan baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun pendidikan. Wayan sudana (2006; 31) mengemukakan “kecemasan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan”. Sumber utama kecemasan pada peserta didik adalah ketakutan akan gagal terutama pada siswa yang belajarnya rendah. Jika seseorang dilanda suatu kecemasan panjang tanpa akhir, secara psikologis ia sebenarnya sudah berada dalam bahaya kehancuran diri. Frans Sinuor Yoseph (1986) dalam Alex Sobur (2003, 342) mengatakan “dalam kecemasan orang terancam, orang yang terancam keselamatannya, sama sekali tidak mengetahui langkah dan cara yang harus dambil untuk menyelamatkan dirnya”.
Ujian nasional (UN) dengan sistem pemberlakuan nilai minimal rata-rata secara nasional dijadikan indikator utama untuk mengetahui standar mutu pendidikan nasional Indonesia sebagai mana dimaksud pada UU No. 20 tahun 2003 menimbulkan kecemasan, bukan hanya pada peserta didik dan orang tua tetapi juga guru dan elmen masyarakat. Terlebih lagi dengan adanya penambahan sejumlah mata pelajaran yang akan di uji nasionalkan pada tahun pelajaran 2007/2008. Kecemasan orang tua dan guru berpengaruh terhadap kecemasan anak didik. Di rumah anak didik ditekan belajar oleh orang tua, di sekolah dia dihadapkan berbagai model pembelajaran guru. Tindakan ini membuat anak didik semakin bingung dan ragu-ragu terhadap potensi dirinya.
Gambaran hasil banyaknya siswa yang tidak lulus ujian nasional (UN) pada tahun pelajaran 2006/2007 sangat memperihatinkan, siapapun akan sedih jika mengetahui sejumlah sekolah yang tidak mampu meluluskan siswanya. Bagaimana dengan ujian nasional tahun 2008 dengan bertambahnya sejumlah mata pelajaran dan naiknya setandar pelulusan (4,267 tahun 2007, 5,02 tahun 2008) ?. Persoalan ini menambah konflik yang membatin pesrta didik sehingga mekanisme pertahanan dirinya semakin melemah. Alex Sobur (2003, 342) mengemukakan “kuat lemahnya mekanisme pertahana diri seseorang berkolerasi dengan sejumlah konflik yang terjadi pada dirinya”
Implementasi dari lemahnya pertahanan diri peserta didik dalam memerangi kecemasannya adalah (1) melakukan aksi unjuk rasa menolak penambahan mata pelajaran seperti di lakukan ratusan siswa SMU se-Jabotabek kegedung DPR/MPR menuntut perbaikan sistem UN. (2) melakukan sikap harap-harap pada teman, guru dan membuat catatan kecil diselipkan di sepatu, lengan baju dan lain sebagainya. (3) yang terburuk adalah pasrah dengan menjawab soal dengan sistim arisan. Konsekuensi logis dari lemahnya pertahan diri siswa memerangi kecemasannya, ketika hasil ujian nasional mengecewakan adalah bunuh diri. Kasus ini terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Lombok Timur – Nusa Tenggara Barat siswa SMA di temukan tewas karena gantung diri, buang diri di kali, minum racun (dampak UN tahun 2006/2007).
2. Bagaimana bentuk kerjasama guru dan konselor dalam mengatasi kecemasan siswa menghadapai ujian nasional
Pemetaan kondisi pendidikan nasional melalui ujian nasional dicanangkan pemerintah menimbulkan rasa kehawatiran guru terhadap siswanya tidak bisa menjawab soal-soal ujian nasional, para siswa diberi jawaban lebih dahulu. Selain itu pengawas UN dengan sengaja melonggarkan pengawasan sehingga para siswa punya kesempatan untuk saling mencontek jawaban. Cara ini tidak menggambarkan profesionalitas guru sebagai agen pembelajaran.
Sikap kerjasama dan saling ketergantungan antara guru,konselor, dan siswa harus ditumbuhkan sejak awal. Keberhasilan siswa harus dijadikan visi bersama untuk mencapai tujuan yang sama yaitu mencapai standar pelulusan. Dalam hal ini penulis mencoba menggambarkan dalam sebuah diagram berikut :
Tujuan bersama
Ketergantungan
Siswa dan guru
Ketergantungan
Siswa dan konselor
Ketergantungan
Guru dan konselor
Bila orang berada dalam suatu kecemasan, ia cendrungan menginginkan kehadiran orang lain untuk membantu dia mencapai harapan yang tidak dapat dicapai secara personal. Dalam dunia pendidikan banyak harapan-harapan guru, konselor, maupun siswa terutama terkait dengan pencapaian standar pelulusan tidak bisa terselesaikan tanpa adanya kolaborasi dengan orang lain. Hanya dengan sikap saling ketergantungan (interdependence) antara guru, konselor, dan siswa persoalan tersebut dapat terselesaikan. Sikap interdependence yang dinamis memotivasi peserta didik mengenal pertahanan emosionalnya dalam menghadapi ujian nasional.
Dari diagram tersebut di atas dapat dilihat bentuk kerjasama antara guru, konselor dan siswa dalam mencapai standar pelulusan ;
1. Antara guru dan siswa harus duduk bersama-sama memecahkan persoalan belajar pada mata pelajaran yang diuji nasionalkan. Guru sebagai model pembelajaran, dan siswa diterjadikan sebagai teman belajar.
2. Antara konselor dan siswa duduk berasama memecahkan paktor-paktor penyebab kesulitan belajar, baik paktor psikologis maupun biologis yang dirasakan siswa. Konselor memberikan layanan yang memandirikan siswa.
3. Selanjutnya guru, konselor, dan siswa menjadikan standar pelulusan sebagai visi bersama dan berkolaborasi secara terus- menerus dalam mencapai tujuan bersama pada tujuan yang sama.
Johnson dan Johnson (1991a) mengemukakan “ada kolerasi positif antara sikap ketergantungan dengan pencapaian tujuan”. Tujuan mencakup hubungan emosinal antara guru, konselor, dan siswa, dan mengarahkan mereka menuju usaha-usaha terkoordinir. Tujuan merupakan harapan masa depan, karenanya tujuan perlu dioperasional secara kooperatif dalam mencapai standar pelulusan.



BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN

Dari beberapa uraian tersebut di atas dapat disimpulkan
1. Ujian nasional (UN) dengan sistem pemberlakuan nilai minimal rata-rata secara nasional dijadikan indikator utama untuk mengetahui standar mutu pendidikan nasional Indonesia sebagai mana dimaksud pada UU No. 20 tahun 2003 menimbulkan kecemasan, bukan hanya pada peserta didik dan orang tua tetepi juga guru dan elemen masyarakat.
2. Dalam kecemasan orang terancam, orang yang terancam keselamatannya, sama sekali tidak mengetahui langkah dan cara yang harus dambil untuk menyelamatkan dirnya. Siswa adalah orang yang terancam, mereka dalam posisi yang berhaya.
3. Lepas dari perubahan sistem standarisasi pelulusan yang ditetapkan pemerintah, guru, konselor sekolah, dan siswa terus berkolaborasi dan menjdikan standar pelulusan sebagai visi bersama dengan mengembangkan sikap saling keterganungan untuk mencapai tujuan yang sama.



Share:

Wikipedia

Search results