"PORTAL GEOGRAFI, LINGKUNGAN DAN TATA KOTA" Gapai mimpimu untuk masa depan yang lebih baik

KARAKTERISTIK DAN KESESUAIAN LAHAN GAMBUT

Pengembangan lahan gambut sebagai lahan pertanian terdapat berbagai kendala baik fisik, kimia maupun biologis. Lahan gambut merupakan lahan yang sangat fragile dan produktivitasnya sangat rendah. Kendala sifat fisik gambut yang paling utama adalah sifat kering tidak balik (irriversible drying), sehingga gambut tidak dapat berfungsi lagi sebagai koloid organik. Produktivitas lahan gambut yang rendah karena rendahnya kandungan unsur hara makro maupun mikro yang tersedia untuk tanaman, tingkat kemasaman tinggi, serta rendahnya kejenuhan basa. Tingkat marginalitas dan fragilitas lahan gambut sangat ditentukan oleh sifat-sifat gambut yang inherent, baik sifat fisik, kimia maupun biologisnya.

Sifat Fisik Gambut
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying).

Beberapa sifat fisik yang perlu diperhatikan kaitannya dengan konservasi tanah gambut adalah kadar air serta kapasitas memegang air. Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya(13 kali bobotnya) menyebabkan BD menjadi rendah. Bulk density terkait dengan tingkat kematangan dan kandungan bahan mineral, dimana semakin matang dan semakin tinggi kandungan bahan mineral maka BD akan semakin besar dan tanah gambut semakin stabil (tidak mudah mengalami kerusakan). Sajarwan (2007) mengemukakan bahwa terjadi penurunan nilai BD dari pinggir sungai ke arah kubah gambut. Nilai BD tanah gambut fibrik di Indonasia kurang dari 0,1 g/cm3(0,06 - 0,15 g/cm3)dan gambut saprik lebih dari 0,2 g/cm3(Driessen dan Rochimah, 1976) dan gambut hemik/saprik antara 0,1 - 0,3 g/cm3.

Reklamasi lahan gambut dengan pembuatan saluran drainase, kadar air akan segera menurun diikuti dengan mengkerutnya volume tanah sehingga permukaan tanah akan mengalami penurunan (subsiden). Subsiden juga disebabkan karena terjadinya proses dekomposisi bahan organik dan melepaskan CO2. Menurut Nugroho et al. (1995) kehilangan gambut akibat pengaruh pengolahan tanah mencapai 2,24 ton/ha/tahun (dari percobaan laboratorium).Tindakan pengelolaan air yang diperlukan untuk menghindari keringnya gambut adalah mempertahankan kedalaman air tanah agar gambut tetap lembab sampai ke permukaan, tapi tidak terlalu basah untuk memberikan aerasi yang baik pada tanaman. Bahaya selanjutnya bagi kelestarian gambut adalah munculnya tanah sulfat masam bila tanah mineral dibawah gambut mengandung pirit atau tanah pasir bila lapisan tanah dibawah gambut adalah pasir kuarsa (Hardjowigeno, 1995).

Sifat Kimia Gambut
Karakteristik kimia lahan gambut sangat ditentukan oleh kandungan , ketebalan,dan jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), serta tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.Komposisi kimia gambut sangat dipengaruhi oleh bahan induk tanamannya, tingkat dekomposisi dan sifat kimia lingkungan aslinya (Tabel 1). Berbeda dengan tanah mineral, bagian yang aktif dari tanah gambut adalah fase cairnya, bukan padatan yang terdiri dari sisa tanaman. Fase cair dari gambut terdiri dari asam-asam organik alifatik maupun aromatik yang memiliki gugus fungsional yang aktif seperti karboksil, hidroksil dan amine. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia dari gambut. Sebagai akibat dari tingginya asam organik, maka reaksi tanah pada umumnya masam. Namun karena karena asam organik adalah asam lemah, maka pH tanah biasanya berkisar antara 4 - 5. pH tanah bisa lebih rendah bila ada lapisan sulfidik yang teroksidasi atau gambut yang terbentuk di atas lapisan tanah yang sangat miskin seperti pasir kuarsa.

Sebagian dari asam organik bersifat racun bagi tanaman yaitu dari golongan senyawa fenolat. Asam-asam fenolat serta turunannya dan juga senyawa benzen karboksilat merupakan "building block" utama dari susunan asam humat dan fulvat. Building block tersebut bergabung melalui berbagai ikatan seperti ikatan H, gaya vander Wall, ikatan C-O dan ikatan C-C (Schnitzer, 1977 dalam Sabiham, 1999). Beberapa turunan asam fenolat yang bayak dijumpai pada bahan organik adalah asam-asam : p-kumarat, p-hidroksi benzoat, klorogenat, vanilat, ferulat, sinapat, gentisat, galat, kafeat, protokatekuat dan syringat (Hartley and Whitehead, 1984 dalam Sabiham, 1999). Salah satu karakteristik senyawa adalah kemampuannya untuk melakukan ikatan dengan kation-kation polivalen membentuk senyawa komplek/khelat (Schnitzer, 1969; Kerndorff and Schnitzer, 1980). Kation Fe, Al, Cu dan Zn adalah kation-kation hara yang mampu untuk membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik.

Kadar asam fenolat pada gambut di Indonesia sangat tinggi. Sabiham (1995) mengemukakan kadar asam p-hydroxy benzoat, asam kumarat dan asam ferulat masing-masing sebesar 32,4 ppm, 34,6 ppm dan 35,2 ppm pada gambut Air Sugihan Sumsel. Sedangkan di di Berengbengkel Kalimantan Tengah masing-masing dari ketiga asam fenolat tersebut adalah 467,5 ppm, 140,73 ppm dan 15,18 ppm. Dengan demikian kadar asam-asam fenolat pada gambut Indonesia jauh di atas ambang batas, terutama gambut Kalimantan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberian kation pada gambut mampu menurunkan aktifitas asam-asam fenolat hingga 80% dengan perlakuan Cu (Tabel 2 ). Disamping menon-aktifkan asam organik monomer, pemberian kation polivalen yang cukup juga dapat meningkatkan muatan positif gambut sehingga mampu mengadsorpsi anion hara seperti unsur fosfat. Dengan demikian maka penambahan kation polivalen juga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan P.

Tanah gambut mengandung hara yang sangat rendah khususnya P dan K, dan basa-basa. Saragih (1996) melaporkan bahwa K-dd pada gambut Jambi umumnya rendah sampai sedang (0,13-0,70 cmol.kg-1), Samplak (1999) melaporkan K-dd pada gambut Kalimantan tergolong rendah sampai tinggi (0,29-1,13 cmol.kg-1). Kejenuhan basa pada gambut Berengbengkel hanya 4,65% dengan kadar abu 0,94%. Sedangkan gambut Air Sugihan KB-nya hanya 11,88% dan kadar abu 5,10%. Kandungan unsur mikro, khususnya Cu sangat rendah pada kedua tanah gambut tersebut. Senyawa fenolat membentuk komplek dengan Cu, sehingga Cu tidak tersedia bagi tanaman. Defisiensi Cu yang berkombinasi dengan keracunan senyawa fenolat akan menyebabkan tanaman padi steril (Dreissen, 1978). Kandungan hara semakin rendah dengan semakin meningkatnya ketebalan gambut. Hal ini berkaitan dengan kemampuan akar tanaman untuk mencapai tanah mineral dibawahnya untuk menyerap hara dan meredistribusikannya melalui daun yang gugur ke permukaan tanah. Namun pada tanah gambut yang terbentuk di atas tanah mineral yang sangat miskin seperti pasir kuarsa, maka kandungan unsur hara juga sangat rendah, walaupun gambutnya tipis. Penelitian ke arah pengurangan aktivitas asam fenolat dan peningkatan ketersediaan hara sudah banyak dilakukan. Pembentukan asam-asam fenolat dan gas metan dapat ditekan dengan penambahan lumpur laut, payau maupun sungai (Sabiham, 1993). Penggunaan kation polivalen seperti Al, Fe dan Cu dapat menurunkan reaktivitas asam-asam fenolat, pH tanah, KTK dan mobilitas hara P serta meningkatkan ketersediaan K, Ca dan Mg (Rachim, 1995; Sulaeman et al.1998). Meningkatnya ikatan-ikatan P pada tanah gambut juga diperoleh dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi (Salampak, 1999) asehingga kehilangan P melalui pencucian dapat dikurangi.

Kesesuaian Lahan

Hardjowigeno(1995) mengemukakan bahwa disamping persyaratan kualitas/ karakteristik lahan untuk tanaman tertentu seperti yang diuraikan oleh Tim Puslittanak (1994), ada dua faktor penting yang membatasi tipe penggunaan lahan yaitu ketebalan gambut dan lapisan sulfidik (pirit) serta jenis bahan mineral yang ada dibawah gambut, yaitu liat marine atau pasir kuarsa. Berdasarkan ketentuan seperti Tabel 3 dan 4, maka lahan gambut dangkal dengan kedalaman pirit > 50 cm tergolong sesuai untuk tanaman padi maupun palawija dengan syarat tetap memperhatikan persyaratan kualitas/karakteristik lahan lainnya yang diperlukan oleh tanaman tersebut. Sedangkan pada lahan gambut dalam Widjaja Adhi (1995) menyarankan untuk tanaman tanaman perkebunan, dengan catatan bukan pada bagian dome dari gambut tersebut. Kawasan disarankan untuk kawasan tampung hujan, walaupun ketebalannya > 2m. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi hidrologis kawasan tersebut.
Share:

Wikipedia

Search results